Puasa Bukan Sekadar Menahan Lapar: Membangun Relasi dengan Sesama dan Lingkungan
![]() |
Ervino Hebri Handoko, S.Fil sedang mendampingi siswa-siswi di Sekolah Nasional Plus Tunas Global di Depok |
Katolik Terkini - Tahun 2025 adalah tahun yang cukup istimewa, karena umat Islam dan Katolik merayakan puasa secara bersamaan. Meskipun Islam dan Katolik memiliki konsep dan aturan puasa yang berbeda, keduanya memiliki benang merah yang sama. Puasa, pada dasarnya, adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, membersihkan diri dari dosa, dan mempererat hubungan dengan Tuhan serta sesama.
Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan atau sesuatu yang bersifat fisik, melainkan juga memiliki tujuan lebih dalam, yaitu pembaharuan diri. Puasa yang sesungguhnya adalah puasa yang mendatangkan kedamaian dalam relasi dengan sesama dan lingkungan. Tanpa adanya perubahan positif dalam hubungan kita dengan orang lain, puasa tersebut akan kehilangan makna.
Lingkungan dan sesama merupakan representasi dari kehadiran Allah yang tampak di dunia. Oleh karena itu, momen puasa ini juga menjadi kesempatan untuk saling memaafkan dan mempererat tali silaturahmi.
Merawat Toleransi Menyambut Hari Raya
Indonesia sering dipuji sebagai negara yang luar biasa karena mampu menjaga keberagaman dan menjunjung tinggi nilai toleransi. Namun, kenyataannya, masalah intoleransi di Indonesia masih menjadi tantangan yang belum sepenuhnya teratasi.
Masalah ini, menurut saya, timbul akibat minimnya literasi dan terbatasnya ruang perjumpaan antarsesama. Ketika ruang perjumpaan terbatas, prasangka dan stereotip akan semakin menguat.
Untuk mengatasi persoalan ini, kita perlu memulai dari akar rumput. Keluarga, lingkungan, dan sekolah memainkan peran penting. Di antara ketiganya, sekolah memiliki peran yang sangat besar karena di sekolah terdapat ruang untuk dialog dan perjumpaan langsung.
Sebagai contoh, di Sekolah Nasional Plus Tunas Global di Depok, setiap siswa diberi kesempatan untuk mempelajari agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Di sekolah ini, terdapat enam guru agama dengan ruang ibadah yang terpisah. Siswa dari berbagai agama dapat hidup dan belajar bersama, saling menghormati, dan merayakan hari raya masing-masing dengan penuh kebahagiaan.
Sebelum libur lebaran beberapa waktu lalu, seluruh siswa di sekolah ini mengadakan kegiatan pembinaan kerohanian sesuai agama mereka masing-masing. Kegiatan ini meliputi pesantren kilat untuk siswa Muslim, rekoleksi untuk siswa Katolik, dan ibadah jalan salib.
Siswa yang beragama Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu juga melakukan kegiatan rohani mereka. Semua kegiatan ini berlangsung di sekolah dan difasilitasi sepenuhnya oleh pihak sekolah, yang mencerminkan komitmen untuk merawat keberagaman dan toleransi.
Menjaga Lingkungan sebagai Rahim Kehidupan
Puasa juga mengajarkan kita untuk bertobat, tidak hanya terkait dosa terhadap Tuhan dan sesama, tetapi juga terhadap lingkungan. Pertobatan ekologis menjadi hal yang sangat penting, mengingat kerusakan lingkungan semakin nyata.
Banyak dari kita yang masih membuang sampah sembarangan atau menebang pohon secara liar, yang pada gilirannya akan menyebabkan bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan penurunan curah hujan.
Lingkungan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Alam adalah rahim kehidupan bagi umat manusia. Oleh karena itu, kita harus menjaga alam dan tidak mengeksploitasi secara sembarangan. Kerusakan lingkungan adalah ancaman yang harus segera diatasi dengan langkah konkret.
Sebagai contoh, Sekolah Nasional Plus Tunas Global bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota Depok mengadakan kegiatan tanam pohon. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup. Melalui kegiatan ini, mereka belajar bahwa menjaga alam adalah tanggung jawab bersama, dan dengan tindakan sederhana, kita bisa memberikan dampak positif bagi bumi.
Dari Toleransi Menuju Kolaborasi
Lingkungan hidup adalah tempat manusia berinteraksi, saling belajar, dan saling menghormati. Kehidupan beragama di Indonesia sangat kaya, dan harapannya adalah cara kita beriman dapat membangun persaudaraan lintas iman. Persaudaraan yang penuh kasih tanpa diskriminasi ini terwujud dalam sikap bela rasa, yang tercermin dalam perhatian kita terhadap sesama, tidak peduli perbedaan keyakinan, dan juga perhatian terhadap lingkungan hidup.
Masalah intoleransi dan kerusakan lingkungan adalah masalah bersama yang memerlukan kolaborasi lintas elemen, baik itu pemerintah, masyarakat, sekolah, dan tokoh lintas agama. Dengan kerjasama yang erat antar elemen ini, kita dapat menyelesaikan kedua masalah tersebut. Pada akhirnya, pujian dari negara tetangga terhadap Indonesia sebagai negara yang hebat akan memiliki makna yang lebih dalam, sebagai bukti bahwa kita mampu menjaga persatuan, toleransi, dan keberagaman.
Dengan komitmen bersama, Indonesia bisa menjadi contoh negara yang tidak hanya menjaga keberagaman sosial, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan, demi masa depan yang lebih baik.
Ervino Hebri Handoko, S.Fil
Pengajar di Sekolah Nasional Plus Tunas Global, Depok
Posting Komentar