Kisah Pilu Migran di Tijuana: Bagaimana Suster Scalabrinian Membantu Mereka?
![]() |
Dok. dari Vatican News |
Katolik Terkini - Dalam dunia yang semakin dipenuhi dengan konflik, kemiskinan, dan ketidakstabilan, migrasi menjadi salah satu isu global yang terus menarik perhatian. Di tengah kondisi ini, Suster Misionaris Santo Charles Borromeo—Scalabrinian—mendedikasikan diri mereka untuk membantu para migran dan pengungsi yang mencari kehidupan lebih baik.
Salah satu pusat pelayanan mereka yang paling penting berada di Tijuana, perbatasan antara Meksiko dan Amerika Serikat.
Sejak didirikan, komunitas Scalabrinian memiliki “karisma perbatasan” yang berakar dalam cinta kasih terhadap sesama. Mereka telah lama bekerja di berbagai belahan dunia untuk menyambut, melindungi, dan merawat para migran yang melarikan diri dari perang, kelaparan, kekerasan, dan penganiayaan.
Para suster melihat migran bukan sebagai “objek” belas kasih, tetapi sebagai “subjek” yang perlu didampingi agar berkembang secara utuh.
Instituto Madre Asunta: Rumah Perlindungan bagi Migran di Tijuana
Di Tijuana, Instituto Madre Asunta menjadi salah satu titik penting dalam misi Scalabrinian. Kota ini semakin menjadi pusat perhatian global, terutama setelah kebijakan Presiden Donald Trump yang memperketat aturan imigrasi dan meningkatkan deportasi migran tidak berdokumen dari AS.
Menurut Sr. Albertina Pauletti, pengelola Instituto Madre Asunta, komunitas Scalabrinian telah hadir di Tijuana selama lebih dari 30 tahun, dengan dirinya secara pribadi terlibat selama lima tahun terakhir.
Instituto Madre Asunta didirikan untuk membantu perempuan migran dan pengungsi, baik yang datang sendirian maupun bersama anak-anak mereka. Pada Desember 2024, inisiatif ini dianugerahi Penghargaan Relawan Internasional Focsiv atas dedikasi luar biasa dalam membantu komunitas migran yang rentan.
Saat ini, pusat ini dikelola oleh tiga suster, dibantu oleh psikolog, tenaga medis, pekerja sosial, dan relawan. Mereka memberikan berbagai bentuk bantuan mulai dari administrasi dokumen hingga dukungan psikologis.
Menghadapi Tantangan Migrasi yang Kompleks
Mayoritas perempuan yang datang ke Instituto Madre Asunta, sekitar 80%, adalah warga Meksiko yang melarikan diri dari Kekerasan kartel narkoba dan kejahatan terorganisir, Kesulitan ekonomi dan keluarga, Pelecehan dan kekerasan dalam rumah tangga.
Selain itu, migran dari Guatemala, Honduras, El Salvador, dan Venezuela juga datang ke pusat ini. Para migran biasanya tinggal selama dua minggu hingga dua bulan, sembari menunggu proses permohonan suaka mereka.
Namun, kebijakan yang berubah-ubah dan ketidakpastian membuat banyak dari mereka semakin rentan terhadap eksploitasi dan kejahatan di perbatasan.
Memberikan Harapan dan Martabat bagi Migran
Di Instituto Madre Asunta, para migran tidak hanya diberikan tempat tinggal sementara, tetapi juga bantuan untuk membangun kembali kehidupan mereka. Menurut Sr. Albertina, banyak dari mereka mengalami trauma mendalam akibat pengalaman buruk yang mereka alami.
“Kisah-kisah mereka sangat memilukan—anak-anak yang melihat ibunya dipukuli, ayah mereka dibunuh, atau bahkan mengalami pelecehan dari keluarga mereka sendiri,” ujarnya.
Selain itu, para suster juga membantu memperkuat ikatan antara ibu dan anak, yang sering kali hilang akibat kondisi hidup yang sulit.
“Anak-anak ini sering kali menghabiskan sepanjang hari sendiri dengan ponsel mereka, sementara ibu mereka bekerja. Kami ingin membantu mereka menemukan kembali hubungan yang sehat dan penuh kasih.”
Instituto Madre Asunta juga mengajarkan nilai-nilai tanggung jawab dan kebersamaan. Para penghuni diwajibkan untuk membantu dalam tugas rumah tangga seperti memasak dan membersihkan. Jika mereka tidak mematuhi aturan, mereka bisa diminta untuk pergi.
Dampak Kebijakan Imigrasi dan Tantangan Baru
Saat ini, Instituto Madre Asunta hanya menampung 18 migran, meskipun kapasitasnya mencapai hampir 90 orang. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah Meksiko, yang mendirikan pusat penampungan besar berkapasitas 2.600 orang untuk menampung migran yang dideportasi dari Amerika Serikat.
Namun, bantuan yang diberikan sering kali hanya bersifat jangka pendek, sebelum mereka diharuskan kembali ke daerah asal mereka.
Selain itu, pemotongan dana kemanusiaan oleh pemerintah AS di bawah kepemimpinan Donald Trump juga berdampak besar. Banyak organisasi non-pemerintah (NGO) yang terpaksa menghentikan operasionalnya, menyebabkan Instituto Madre Asunta kehilangan sebagian dukungan keuangan.
“Saya bertanya-tanya, sampai kapan kita akan terus membangun tembok?” kata Sr. Albertina. “Pendiri kami dulu mengatakan bahwa bagi seorang migran, rumah adalah tempat yang memberinya roti.”
Scalabrinian: Jaringan Misi Global
Suster Scalabrinian memiliki sejarah panjang dalam membantu migran di berbagai belahan dunia. Didirikan pada tahun 1895 oleh Giovanni Battista Scalabrini, komunitas ini kini memiliki 111 misi di 27 negara, dengan lebih dari 400 suster religius.
Mereka menjalankan prinsip Ora et Labora (berdoa dan bekerja), yang menggabungkan pelayanan sosial dengan spiritualitas. Misi mereka terus berkembang di berbagai negara, terutama di kawasan Amerika Latin, untuk memberikan harapan bagi para migran yang mencari kehidupan yang lebih baik.
Instituto Madre Asunta di Tijuana adalah bukti nyata bagaimana kasih sayang dan kepedulian dapat membawa perubahan bagi kehidupan para migran yang membutuhkan. Di tengah tantangan kebijakan imigrasi yang semakin ketat, komunitas Scalabrinian tetap berkomitmen untuk menyambut, melindungi, dan mendampingi mereka yang terpaksa meninggalkan tanah air mereka.
Dengan semangat kemanusiaan yang kuat, para suster Scalabrinian terus memberikan harapan bagi mereka yang terpinggirkan, membuktikan bahwa di balik setiap perjalanan migrasi, selalu ada harapan untuk masa depan yang lebih baik.(AD)
Berita ini disadur dari Vatican News
Posting Komentar