Non Scolae Sed Vitae Discimus: Filosofi Pendidikan yang Mengubah Kehidupan
![]() |
Dokumen pribadi Ervino Handoko, S.Fil. |
Oleh : Ervino Hebri Handoko, S. Fil
Katolik Terkini - Ketika berbicara tentang pendidikan, berarti kita juga berbicara tentang sekolah. Karena idealnya, proses pendidikan terjadi dalam lingkungan sekolah. Namun sebenarnya, proses pendidikan dapat kita peroleh dimana saja dan kapan saja.
Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa lingkungan dimana kita tinggal bisa menjadi “sekolah” yang baik. Dengan membaca atau sekadar berdiskusi di warung kopi, kita sudah terlibat dalam proses pendidikan. Berdiskusi dengan tukang kebun tentang cara membuat pupuk kompos juga sudah terlibat dalam proses pendidikan yang jauh lebih konkret.
Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Melalui pendidikan, manusia mengalami perubahan dalam dirinya. Ia mampu untuk berpikir kritis dan bertidak etis. Dan paling penting, ia terlatih dalam merespon setiap fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Melalui proses pendidikan juga, manusia dapat menggali banyak potensi yang ada dalam dirinya.
Pendidikan untuk kehidupan
Pendidikan tidak boleh dipahami sebagai transfer pengetahuan. Sebab manusia bukan robot yang bisa dibentuk melalui kerja sistem. Proses internalisasi nilai membutuhkan waktu dengan pendekatan yang jauh lebih kompleks dari sekadar transfer pengetahuan. Hal ini dipertegas oleh Plato, bahwa pendidikan adalah pembudayaan, proses dimana seseorang dibentuk menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan watak dan karakter masyarakatnya.
Dengan pendidikan, seseorang tidak hanya diarahkan untuk tahu, tetapi juga sampai pada pengalaman dimana ia mampu memahami apa yang ia ketahui dan pada akhirnya ia dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Mengutip pepatah latin, Non scolae, sed vitae discimus (Bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup kita belajar). Belajar yang dimaksudkan pepatah latin ini tidak hanya terbatas pada pendidikan formal tetapi juga merujuk pada pendidikan non formal Tidak terbatas pada ruang dan waktu. Belajar sampai akhir hanyat. Paling penting, proses itu mampu memberi dampak bagi kehidupan bersama (Setyo Wibowo & Haryanto Cahyadi: 2014).
Menjadi guru yang terus belajar
Ujung tombak pendidikan adalah guru. Kualitas guru sangat menentukan masa depan generasi penerus bangsa. Guru yang berkualitas tentu akan mewariskan generasi emas. Jika tidak, yang terjadi justru sebaliknya. Maka dari itu, guru perlu belajar hal-hal yang baru. Sebab, guru yang belajar adalah guru yang siap mengajar. Belajar yang sungguh-sungguh, sampai ke akar-akarnya. Mengutip pepatah latin, Non Multa, sed multum; jangan belajar yang banyak-banyak, tetapi hendaklah mendalam. Artinya, tidak perlu tahu banyak hal, kuasailah hal-hal penting dan esensial. Ini tentu sejalan dengan ide pemerintah terkait konsep pembelajaran berbasis deep learning.
Ragam perubahan yang terjadi tidak perlu dianggap sebagai beban oleh guru. Guru yang memiliki grow mindshet harus melihat ini sebagai batu loncatan untuk mencapai level tertinggi. Kita harus sepakat bahwa pengetahuan itu lahir dari rasa ingin tahu yang tinggi. Maka dari itu, sangat penting agar setiap guru perlu mengalami sebuah situasi yang saya namakan sebagai kegelisahan intelektual. Artinya, ia selalu merasa tidak puas dengan pengetahuan yang dimilikinya. Ia selalu merasa gelisah kalau tidak belajar dan mencoba hal-hal baru.
Pendidikan untuk kebaikan bersama
Kita berada dalam zaman dimana segala sesuatu serba digital. Guru harus peka terhadap perkembangan semacam ini. Revolusi 5.0 juga menuntut agar sistem pendidikan kita perlu menekankan segi humanisme. Itu artinya, sistem pendidikan harus mampu membentuk pribadi siswa yang unggul dari segi karakter. Oleh karena itu kualitas diri seorang guru perlu dibentuk untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Transformasi semacam ini perlu ditanggapi dengan antusias dan penuh tanggung jawab. Ujung dari semua proses itu sebenarnya adalah untuk kebahagiaan pendidik itu sendiri. Dengan belajar, guru memperoleh banyak pengetahuan.
Dengan pengetahuan yang mumpuni, guru dapat berbagi dengan muridnya. Dan paling penting, guru bisa berkontribusi banyak bagi sesama dan lingkungan sekitar, karena itu adalah panggilan kita sebagai manusia. Hingga pada akhirnya kita sampai pada sebuah kesadaran kolektif; bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup kita belajar.***
Keren
BalasHapus