Semarak Budaya Jawa Warnai Misa Inkulturasi di Paroki Maria Ratu Rosario Palembang
Katolik Terkini - Suasana Misa di Paroki Maria Ratu Rosario Jalan Tembok Batu Seberang Ulu Palembang pada Minggu (5/4/2024) pagi nampak berbeda. Pasalnya suasana adat Budaya Jawa nampak mengiringi perayaan Misa Inkulturasi di paroki ini.
Misa dipimpin oleh Romo Hans Rettob MSC bersama Romo Wanto SCJ dan Romo Kristiaji, MSC, dimulai pada pukul 07.30 WIB dengan perarakan patung Bunda Maria memasuki gereja penuh khidmat diiringi paduan suara yang mengenakan busana adat Jawa.
Umat yang hadir meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, bersatu dalam semangat cinta akan seni dan kearifan lokal Jawa. Hal ini menjadi cerminan toleransi di mana seni dapat menjadi sarana menyatukan perbedaan dan mencerahkan makna spiritual dalam budaya setempat.
Menurut De Liturgia Romana Et Inculturations (1995), inkulturasi adalah upaya agama untuk menyesuaikan diri dengan budaya lokal. Transformasi signifikan nilai-nilai budaya asli yang diintegrasikan ke dalam agama Katolik. Sedangkan, menurut kaidah Gereja Katolik, inkulturasi harus ada, dan sebagaimana tertulis dalam Kamus Gereja Katolik: “Inkulturasi dan hakikat Gereja Katolik tidak dapat dipisahkan satu sama lain,” (Heuken, 1992: 104).
Misa inkulturasi ini diharapkan dapat membantu masyarakat menjalani hidup bahagia. Yesus sendiri ingin semua orang hidup bahagia, baik di bumi maupun di surga. Jika kita bisa mensyukuri semua yang Tuhan berikan dalam hidup, Kita bisa menjalani hidup yang bahagia.
Rasa syukur ini juga diwujudkan dengan segala anugerah yang Tuhan berikan kepada kita, khususnya agar masyarakat Indonesia semakin mencintai keberagaman budaya Indonesia. Melalui Misa Inkulturasi ini, masyarakat dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap Indonesia dan pada akhirnya bisa dikatakan 100% Katolik dan 100% Indonesia.
Alfonsus Supardi pengurus Dewan Pastoral Paroki Maria Ratu Rosario menerangkan Misa Inkulturasi saat ini dilaksanakan untuk pertama kali, mengingat umat Paroki Maria Ratu Rosario Palembang berasal dari berbagai etnis dan suku, oleh karena itu secara bergilir Misa Inkulturasi dengan mengusung adat budaya berbeda dilakukan untuk memperkenalkan dan menghargai keanekaragaman budaya yang dimiliki umatnya serta membuktikan bahwa budaya dapat menyatu dengan gereja.
Selama Bulan Maria ini bergiliran setelah inkulturasi Jawa, Minggu depan pada bulan Mei 2024 ini, misa dengan inkulturasi Batak, kemudian inkulturasi Chinese dan terakhir misa inkulturasi budaya Timor (Flores, Ambon, Papua).
Dalam homilinya, Pastur Kristiaji, MSC, mengatakan Misa inkulturasi ini merupakan salah satu cara Gereja menghormati budaya lokal dan menyatukan adat istiadat tanpa menghilangkan struktur peribadatan.
Dalam misa inkulturasi ini, kehadiran unsur budaya Jawa sangat terasa. Mulai dari dekorasi altar, busana umat dengan kostum adat Jawa seperti kebaya, batik, kemben, dan blangkon, hingga alunan musik paduan suara, menjadikan gereja benar-benar bisa hidup tanpa membeda-bedakan tradisi budaya tanda cinta. Gereja ingin mengeksplorasi bagaimana iman dapat tumbuh di setiap budaya.
Lebih lanjut Pastor Kristiaji menjelaskan bahwa Pasca Konsili Vatikan Kedua, Gereja Katolik semakin terbuka terhadap dunia, sehingga membuka peluang besar bagi proses penerimaan budaya. Dalam hal ini, Gereja Katolik mengambil pendekatan berbasis budaya masyarakat setempat, dengan tujuan untuk meningkatkan penerimaan Gereja Katolik di dunia.
Dengan cara ini, budaya menjadi cara bagi gereja untuk menginkulturasi tradisi dan ajarannya, sehingga semakin diterima dan dipahami oleh masyarakat. Misalnya, para misionaris yang sebelumnya datang ke Indonesia untuk memberitakan Injil terlebih dahulu mempelajari budaya masyarakat Indonesia, termasuk bahasa dan tradisi masyarakat setempat. Melalui pendekatan ini, menemukan bahwa mayoritas masyarakat di Indonesia memahami dan tertarik dengan ajaran Kristiani, dan akhirnya memilih agama Katolik.
Oleh karena itu, Gereja hadir untuk merangkul berbagai budaya dari berbagai suku yang ada di Indonesia, antara lain Pasemah, Ogan, Komering, Sunda, Jawa, Batak, Padang, Makassar, Flores, Papua, bahkan Tionghoa.
Gereja percaya bahwa meskipun orang-orang ini mempunyai budaya yang berbeda dan beranekaragam, mereka tetap tampak sebagai anak-anak Allah yang diciptakan secara identik. Oleh karena itu, Gereja percaya bahwa tidak ada yang perlu diperdebatkan mengenai perbedaan-perbedaan ini, namun perbedaan tersebut dapat digunakan sebagai peluang untuk lebih memperkuat hidup berdampingan sambil melestarikan keanekaragaman budaya.(AD)
Oleh Kontributor Palembang
Andreas Daris
Posting Komentar