Kontroversi Pernikahan Homoseksual dan Posisi Gereja Katolik (Bagian 3)
Oleh: Joan Damaiko Udu, Redaktur Pelaksana Katolik Terkini
Katolik Terkini - Sebelum membaca artikel ini, Anda sebaiknya terlebih dahulu membaca artikel bagian pertama dan keduanya;
- Kontroversi Pernikahan Homoseksual dan Posisi Gereja Katolik (Bagian 1)
- Kontroversi Pernikahan Homoseksual dan Posisi Gereja Katolik (Bagian 2)
Karena artikel di bawah ini adalah lanjutan dari artikel bagian satu dan dua.
Suatu Penyimpangan Moral
Penolakan Gereja Katolik terhadap semua gagasan dan praktik homoseksual didasarkan pada pertimbangan yang jelas, terukur, dan reliabel. Selain tiga pertimbangan yang sudah disebutkan (hakikat seksualitas, perkawinan, dan keluarga), Gereja Katolik juga mengacu pada ayat-ayat alkitabiah yang secara benderang mengecam perilaku homoseksual sebagai suatu bentuk penyimpangan moral (lih. Im 18:22; Rm 1:24-27; 1 Kor 6:10; 1Tim 1:10).
“Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian” (Im 18:22). Ayat ini menggolongkan tindakan-tindakan homoseksual sebagai sesuatu yang keji secara moral: sesuatu yang buruk, hina, dan sangat rendah pada dirinya sendiri.
Bagi Gereja Katolik, perkawinan itu luhur, mulia, dan menguduskan manusia, sedangkan praktik homoseksual merendahkan manusia dan menentang kodrat hukum moral. Tindakan-tindakan homoseksual “melawan hukum kodrat karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi waktu persetubuhan.
Perbuatan itu tidak berasal dari suatu kebutuhan yang benar untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual. Maka, bagaimanapun perbuatan itu tidak dapat dibenarkan” (Katekismus Gereja Katolik, no. 2357).
Persetubuhan, yang merupakan aspek hakiki yang menyempurnakan perkawinan Katolik, dilakukan secara tidak wajar dalam hubungan homoseksual.
Persetubuhan tidak didasarkan pada kebutuhan fundamental untuk saling memberikan diri secara utuh demi kelahiran keturunan, tetapi direduksi hanya pada aspek rekreatif demi kepuasan hasrat jasmani semata. Oleh karena itu, tindakan persetubuhan mereka lebih pantas disebut sebagai kemesuman yang mendatangkan dosa, bukan sebagai penyempurnaan perkawinan yang luhur dan sakral.
Roma 1:26-27 mangafirmasi hal itu secara eksplisit, “Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar.
Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.”
Tindakan homoseksual merupakan suatu kesesatan yang menjauhkan orang dari Allah, dan persis inilah yang dinamakan dosa. Sejak penciptaan, Allah tidak pernah memaksudkan perkawinan sebagai hubungan homoseksul. Tema-tema perkawinan dalam Alkitab selalu terkait dengan hubungan heteroseskual, suatu hubungan kasih timbal-balik antara pria dan wanita.
Maka, apa pun alasan yang dikemukakan, persatuan pasangan homoseksual tetap tidak bisa dibenarkan secara moral Katolik dan tidak akan mengubah hukum pernikahan yang ditetapkan Tuhan (Lih. Dua dokumen resmi Kongregasi Ajaran Iman tentang homoseksualitas: Considerations regarding Proposals to Give Legal Recognition to Unions between Homosexual Persons, diumumkan pada 28 Maret 2003, no. 4 dan Letter to the Bishops of the Catholic Church on the Pastoral Care of Homosexual Persons, diumumkan pada 1 Oktober 1986, no. 7-8). Pernikahan Katolik harus selalu bersifat heteroseksual, monogam, dan tak terceraikan seumur hidup (Kej 1:27; 2:23-24; Mat 19:4-6).
Hubungan homoseksual mesti dilihat sebagai dosa karena menyimpang dari tata penciptaan Allah sendiri. Ini adalah suatu kemesuman, sama seperti perzinahan yang dilakukan oleh kaum heteroseksual. Atas dasar itu, Paulus sudah sejak awal mengingatkan, “Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah, dan penipu tidak akan mendapati bagian dalam Kerajaan Allah (1 Kor 6:9-10).”
Maka dari itu, para pribadi homoseksual diminta untuk melakukan pertobatan dan lantas kembali kepada Allah. Mereka memang tidak pernah meminta untuk memiliki kecenderungan seksual seperti itu, tetapi setiap kita sudah diberi kemampuan akal budi oleh Tuhan untuk mengendalikan diri dan mengontrol hawa nafsu.
Setiap kita, siapa pun kita dan apa pun kecenderungan seksual kita, dipanggil untuk menghayati hidup murni dan suci di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, “para pribadi homoseksual dapat merayakan Sakramen Pengampunan dengan lebih sepenuh hati dan menerima rahmat Tuhan yang dianugerahkan dengan bebas agar mempertobatkan hidup mereka secara lebih penuh pada jalan-Nya” (Kongregasi Ajaran Iman, Letter to the Bishops of the Catholic Church…, no. 12). Meskipun tidak mudah, para pribadi homoseksual perlu selalu meningkatkan usahanya untuk menghayati hidup suci tersebut.
Bagi orang Katolik, panggilan untuk menghayati kesucian merupakan bagian konstitutif dari imannya, sebab sejak pembaptisan, setiap orang Katolik dipanggil untuk selalu mengusahakan kekudusan di hadapan Allah. Dalam rangka itu, segala kesesatan dan penyimpangan dari kehendak Allah, seperti menyetujui perbuatan-perbuatan homoseksual atau mendukung pengesahannya secara hukum, harus dihindari.
Tindakan mendukung dan mengakui persekutuan homoseksual atau menempatkannya sejajar dengan perkawinan Katolik tidak hanya akan merusak tatanan nilai moral Katolik itu sendiri, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang menjadi warisan bersama umat manusia (Kongregasi Ajaran Iman, Considerations…, no. 10). Atas dasar itu, setiap orang Katolik harus sedapat mungkin menghindari segala bentuk kerja sama untuk memberikan pengakuan legal terhadap “perkawinan homoseksual” tersebut.
Tuntutan yang Tak Masuk Akal
Pengakuan legal terhadap persekutuan homoseksual akan membawa konsekuensi yang besar, di mana nilai-nilai moral dasar yang sudah lama kita anut menjadi kian kabur dan makna luhur perkawinan itu sendiri menjadi semakin merosot.
Kita akhirnya tidak lagi mempunyai pegangan moral yang pasti dalam kehidupan bersama di masyarakat. Kita akan hidup dengan standar moral ganda, yang jelas akan mengacaukan tatanan hidup bersama. Kehidupan manusia pun akhirnya terdistorsi dan bergerak mundur pada level yang tidak manusiawi.
Lebih dari itu, bangsa manusia juga akan terancam punah, sebab persatuan homoseksual tidak akan memberikan sumbangsih yang selayaknya bagi prokreasi dan keberlanjutan bangsa manusia itu sendiri. Maka, tuntutan bahwa hubungan homoseksual ini harus diakui secara hukum jelas tidak masuk akal, sebab tuntutan itu tidak didasarkan pada alasan yang kuat, baik secara moral-religius maupun secara biologis-antropologis (Kongregasi Ajaran Iman, Considerations…, no. 7).
Lalu, bagaimana dengan argumen terkait hak asasi manusia, seperti yang sering digunakan para pegiat HAM dan kelompok liberal? Jika dilihat secara substansial, argumen HAM sejatinya tidak begitu kuat untuk mendukung tuntutan tersebut, sebab kecenderungan homoseksual hanyalah sebuah fenomena psikologis yang bisa diolah dan disembuhkan (Tay, 2019).
Hal ini diperkuat Ryan Sorba, ketua organisasi Young Conservatives of California (YCC), dalam pembicaraannya di Framingham State University, tanggal 31 Maret 2008, ketika memperkenalkan bukunya, The Gay Gene Hoax. Sorba menjelaskan bahwa kecenderungan gay tidak disebabkan oleh faktor genetik, sebagaimana dipropagandakan para aktivis dan beberapa pakar. Berdasarkan penelitian pada bayi-bayi kembar di Scandinavia, diketahui bahwa salah satu dari bayi yang diteliti dapat menjadi gay, namun yang satunya tidak. Jika memang homoseksual itu bersifat genetik, tentu kedua bayi itu dapat menjadi gay.
Lantas, menurut Sorba, perilaku homoseksual banyak dipengaruhi oleh lingkungan, terutama penganiayaan seksual di masa kecil, seperti yang dialami dan diakui sendiri oleh banyak aktivis homoseksual. Hal lain yang cukup berpengaruh adalah kurangnya figur ayah atau ibu dalam keluarga, khususnya pada masa seseorang masih kanak-kanak. Hal ini, misalnya, disebebkan oleh perceraian.
Berdasarkan penelitian ini, Sorba menyimpulkan bahwa orang-orang yang mengalami kecenderungan homoseksual pada dasarnya bisa disembuhkan dan bisa kembali menjadi manusia normal. Artinya, orientasi homoseksual tidak bersifat ajek sebab dapat disembuhkan sejauh diusahakan dengan sungguh-sungguh.
Dalam terang ini, dalih para pegiat HAM dan kelompok liberal sulit diterima secara nalar, sebab sesuatu baru bisa disebut HAM kalau sifatnya urgen dan mendesak, yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan adanya sesuatu yang kurang dalam perwujudan kehidupan dan martabat kemanusiaan seseorang.
Sementara, dalam kenyataaannya, tanpa memberikan pengakuan legal terhadap persekutuan homoseksual, para pribadi dengan kecenderungan seperti itu akan tetap bisa menggunakan hak-hak mereka menurut hukum dan otonomi pribadi sebagaimana para warga negara lainnya (Kongregasi Ajaran Iman, Considerations…, no. 9).
Berdasarkan perspektif itu, kita lantas dibuat bingung dengan adanya kebijakan sejumlah negara di dunia yang memberikan pengakuan legal terhadap “perkawinan homoseksual” dengan alasan untuk menghormati hak dan kesetaraan semua warga negara di depan hukum. Alih-alih menghormati hak warga negara, kebijakan tersebut justru akan merusak moralitas publik.
Kebijakan itu de facto merusak institusi perkawinan sebagai lembaga hakiki bagi terwujudnya kepentingan umum, terutama kepentingan bersama untuk mempertahankan eksistensi sebuah negara-bangsa (Kongregasi Ajaran Iman, Considerations…, no. 6). Padahal, “kesejahteraan umum menuntut agar hukum-hukum mengakui, mempromosikan, dan melindungi perkawinan sebagai dasar hidup berkeluarga, unit masyarakat yang paling utama” (Kongregasi Ajaran Iman, Considerations…, no. 11). Maka, pengakuan legal terhadap “perkawinan homoseksual” hanya akan menghancurkan martabat perkawinan itu sendiri, yang merupakan institusi paling penting dalam menjamin keberlangsungan suatu masyarakat dan negara-bangsa.
Itu berarti bahwa pengakuan legal semacam itu tidak hanya merupakan persetujuan terhadap perilaku yang menyimpang, tetapi juga merupakan bentuk pengabaian terhadap kebaikan umum (common good) yang menjadi dasar terbentuknya sebuah tatanan masyarakat madani yang bernama negara.
Dengan kata lain, pengakuan legal terhadap persekutuan homoseksual justru bertentangan dengan alasan beradanya sebuah negara-bangsa. Gereja dalam hal ini menentang “perkawinan homoseksual” sebagai bentuk konsistensinya dalam mempertahankan nilai-nilai moral yang benar serta sebagai bentuk komitmennya dalam merawat nilai-nilai kemanusiaan dan kepentingan masyarakat itu sendiri.
Sikap Moral yang Tepat
Gereja pada dasarnya memaklumi bahwa homoseksulitas merupakan suatu fenomena yang kompleks, apalagi para pribadi homoseksual tidak pernah memilih untuk memiliki orientasi seksual seperti itu. Namun, sebagai kecenderungan seksual, gejela ini mesti dilihat sebagai salah satu godaan yang perlu dihadapi dengan sikap iman yang tepat. Dalam arti ini, para pribadi homoseksual perlu mengolah semua dorongan itu secara bijaksana agar tetap bisa memelihara hidup murni di hadapan Tuhan.
Para pribadi homoseksual, seperti juga umat Kristiani pada umumnya, diminta untuk meningkatkan pengendalian diri (Lih. Katekismus Gereja Katolik, no. 2359). Setiap dorongan hawa nafsu yang mengarahkan kita pada kesesatan dan perbuatan-perbuatan dosa perlu dijauhi. Setiap kita dipanggil untuk menjaga kemurnian hati, kesucian tubuh, dan kesetiaan dalam mencintai.
Dalam rangka itu, kita perlu selalu memohon bimbingan Roh Kudus, sambil memperkuat laku tapa dan kontrol sosial. Kita perlu memberikan dukungan moral kepada kaum homoseksual dalam perjuangan mereka menuju penghayatan iman yang benar.
Selain itu, menurut ajaran Gereja, mereka yang mempunyai kecenderungan homoseksual juga harus diterima dengan hormat, dengan sikap belas kasih, dan dengan penuh kepedulian. Setiap model diskriminasi yang tidak adil yang dikarenakan oleh kecenderungan tersebut harus dijauhkan.
“Mereka harus dilayani dengan hormat, dengan kasih sayang, dan dengan bijaksana. Orang jangan memojokkan mereka dengan salah satu cara yang tidak adil” (Katekismus Gereja Katolik, no. 2358). Mereka, seperti halnya semua umat beriman, dipanggil untuk hidup murni.
Namun, perlu dipahami di sini bahwa menghormati kaum homoseksual tidak berarti menyetujui tindakan mereka atau mengakui persatuan mereka secara hukum, sebab bagaimanapun kecenderungan homoseksual tetaplah menyimpang (secara intrinsik dan objektif buruk) dan perilaku homoseksual merupakan perbuatan tercela melawan kemurnian (Lih. Katekismus Gereja Katolik, no. 2358-2359).
Sebagai orang Kristiani, kita menolak kecenderungan serta perbuatan seksual mereka yang menyimpang, tetapi pada saat yang sama juga berkewajiban untuk menolak setiap bentuk diskriminasi dan pelecehan terhadap martabat mereka sebagai pribadi dan ciptaan Allah.
Dalam hal ini, alangkah baik jika kita meneladani Bapa Suci, Paus Fransiskus, dalam bersikap terhadap kaum homoseksual atau LGBT. Ketika berada di Brazil dalam rangka Hari Pemuda sedunia tahun 2014, ia ditanya oleh anak-anak muda, “Apakah selalu buruk kaum homoseksual itu?” Paus Fransiskus menjawab dengan sangat simpatik, “Siapakah aku ini untuk menghukum mereka?” Sikap moral Paus Fransiskus ini mengingatkan kita untuk tidak bersikap diskriminatif terhadap kaum homoseksual.
Paus tentu tidak bermaksud menyetujui perkawinan homoseksual, tetapi hanya mau mengatakan bahwa kita tidak boleh menghakimi kaum homoseksual sesuka kita. Inilah sikap moral yang tepat yang perlu kita tunjukkan manakala berhadapan dengan kaum homoseksual. Kita, sebagai warga Gereja, diajak untuk tetap bersikap ramah dan humanis terhadap mereka, terlepas dari apa pun kecenderungan dan orientasi seksual mereka.***
Posting Komentar