Kontroversi Pernikahan Homoseksual dan Posisi Gereja Katolik (Bagian 2)
Oleh: Joan Damaiko Udu, Redaktur Pelaksana Katolik Terkini
Sebelum membaca artikel ini, Anda sebaiknya terlebih dahulu membaca artikel bagian pertamanya; Kontroversi Pernikahan Homoseksual dan Posisi Gereja Katolik (Bagian 1). Karena artikel di bawah ini adalah lanjutan dari artikel bagian satunya.
Kedua, konsep khas tentang seksualitas manusia ini kemudian menjadi basis pandangan Gereja Katolik mengenai perkawinan. Mengingat Kejadian 1-2 tidak mengatur secara rinci dan teknis bagaimana seharusnya seksualitas manusia betul-betul diwujudkan secara manusiawi, maka Gereja, atas dasar ketetapan ilahi, mengaturnya dengan mendirikan sebuah lembaga yang bernama perkawinan.
Dengan demikian, “Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup berbagai nilai dan tujuan” (Gaudium et Spes, art. 48). Hal ini juga mengungkapkan suatu pesan penting bahwa seksualitas manusia pada dasarnya merupakan sesuatu yang baik, yaitu suatu anugerah dari Allah sendiri. Maka, dengan menjadikan manusia makhluk seksual, Allah pun secara tak langsung melandaskan perkawinan (Gaudium et Spes, art. 51).
Lantas, perkawinan seperti apa yang dimaksudkan di sini? Jika mengacu pada Kejadian 1-2, jelas bahwa perkawinan yang sesuai dengan hakikat seksualitas manusia adalah perkawinan heteroseksual, bukan perkawinan homoseksual.
Sejak penciptaan, Allah sudah selalu memaksudkan perkawinan sebagai persekutuan cinta antara laki-laki dan perempuan, bukan antara laki-laki dan laki-laki atau antara perempuan dan perempuan. Setiap pembicaraan tentang perkawinan dalam Alkitab selalu dipahami dalam kerangka itu: kerangka hubungan heteroseksual (bdk. Kej 1:28; Mat 19:5-6; Mrk 10:8-9; 1 Kor 7:12-15; Ef 5:22-23, 31; Ibr 13:4; Kol 3:14-15; 2 Kor 13:11).
Untuk itu, “laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging (Mat 19:5).” Hubungan seksual yang sah, penuh, dan sakral hanya boleh berlangsung dalam konteks ikatan perkawinan yang suci itu (Gaudium et Spes, art. 48).
Perkawinan homoseksual atau yang biasa dikenal “perkawinan sesama jenis” tidak pernah dimaksudkan dalam pengertian tersebut. Hal itu dikarenakan dua laki-laki dan dua perempuan secara biologis tidak dapat kawin satu sama lain dalam arti yang sesungguhnya. Perkawinan homoseksual tidak sungguh-sungguh mencerminkan pemberian diri yang penuh dan utuh yang merupakan unsur esensial perkawinan.
Bagi Gereja Katolik, perkawinan adalah panggilan mulia yang ditetapkan Allah, Sang Pencipta, dengan kodratnya tersendiri, dengan sifat-sifat dan maksudnya yang hakiki (Katekismus Gereja Katolik, no. 2367).
Perkawinan hanya dapat diadakan antara seorang pria dan seorang wanita, yang dengan saling memberikan diri yang sepantasnya, mengarah kepada persekutuan pribadi mereka secara utuh dan penuh. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat 19:6).
Dalam konteks ini, perkawinan menghendaki penyerahan diri timbal balik yang tetap dan utuh dari kedua belah pihak yang menikah (Familiaris Consortio, no.80). Mereka saling menyempurnakan diri dalam mewujudkan tugas bersama sebagai rekan Pencipta, khususnya dalam melahirkan kehidupan-kehidupan baru di bumi. Tugas ini terinstitusionalisasi dalam perkawinan yang monogam dan tak terceraikan (Ibr 13:4; Kej 2:18, 22, 24).
Martabat perkawinan ini diberi makna yang mendalam oleh Gereja dengan menetapkannya sebagai sakramen (Kasper, 1980: 37-42). Hal ini menegaskan bahwa perkawinan Katolik adalah tanda yang nyata dari perjanjian Kristus dan Gereja (Ef 5:32).
Perkawinan Katolik dengan demikian meneguhkan dan memperkuat persatuan perkawinan antara pria dan wanita demi keberlangsungan generasi manusia. Persekutuan homoseksual tidak sejalan dengan maksud perkawinan ini sebab tidak sesuai dengan maksud penciptaan dan tidak mencerminkan esensi perkawinan yang sesungguhnya.
Dalam perkawinan homoseksual, dua pribadi tidak sungguh-sungguh menjadi “satu daging” (rohani dan jasmani), dan karena itu, tidak sungguh-sungguh memperlihatkan pemberian diri yang total kepada yang lain dan sama sekali tidak menunjang keberlanjutan kehidupan. Dengan demikian, persekutuan kasih dalam ikatan homoseksual merupakan suatu bentuk persekutuan yang dangkal karena hanya berhenti pada pemenuhan hasrat jasmani semata (Tay, 2019).
Selain itu, menyebut persatuan homoseksual sebagai perkawinan juga merupakan suatu kontradiksi karena perkawinan selalu dimengerti sebagai persekutuan kasih antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, Cormac Burke (2015: 179-180), seorang teolog dan ahli hukum Gereja, yang pada tahun 1986 ditunjuk Paus Yohanes Paulus II menjadi hakim di Pengadilan Apostolik Sacra Rota Romana, menanggapi tuntutan untuk mengakui legalitas persekutuan homoseksual dengan menegaskan, “Perbuatan homoseksual merupakan latihan dalam kehampaan, memuaskan hasrat individu tetapi membiarkan orang-orang terpisah seperti sebelumnya; tidak ada tindakan yang menyatukan mereka. Hanya budaya dualistik, yang memilih untuk tidak melihat hubungan alami dan intrinsik antara tubuh dan jiwa, yang ingin menggambarkan hubungan homoseksual sebagai pernikahan” (Burke, 2015: 179-180).
Posisi Gereja Katolik dalam di sini sangat jelas bahwa persekutuan kasih (unifikasi) antara laki-laki dan perempuan haruslah merupakan suatu persekutuan yang utuh dan mendalam (persekutuan jiwa dan raga) yang terarah pada kelahiran keturunan (prokreasi) (Arnold, 1998, 18-19). Perkawinan yang dimaksudkan Gereja selalu mengarah pada dua aspek fundamental itu: aspek spiritual-unitif dan aspek biologis-prokreatif.
Dalam rangka inilah Paus Paulus VI, dalam Ensiklik Humanae Vitae (no. 11-12), dalam konteks kritik kerasnya terhadap penggunaan kontrasepsi, menegaskan kembali “hubungan yang tak terpisahkan, yang dibangun oleh Allah…antara makna persatuan (unitive significance) dan penciptaan (procreative significance), yang keduanya melekat dalam hubungan suami-istri.”
Persatuan homoseksual, dengan argumen apa pun, tidak pernah memenuhi dua aspek fundamental itu, bahkan tidak layak disebut sebagai perkawinan. Maka, sangatlah beralasan jika sampai sekarang Gereja Katolik tidak mengakui persatuan homoseksual sebagai perkawinan kanonik.
Ketiga, perkawinan sakramental sebagai proses pelembagaan keluarga sebagai “Gereja Domestik”. Dalam pandangan Gereja Katolik, pembentukan keluarga merupakan konsekuensi logis dari setiap pernikahan. Dengan menjadi “satu daging”, suami dan isteri membentuk persekutuan kasih dan pemberian diri timbal balik di dalam keluarga. Buah dari persekutuan kasih itu adalah anak-anak yang dikaruniakan Allah dengan cuma-cuma, di mana “anak-anak itu tidak ditambahkan dari luar pada cinta timbal balik suami-isteri, tetapi tumbuh dari inti saling serah diri mereka sendiri, sebagai buah dan pemenuhannya” (Katekismus Gereja Katolik, no. 2366).
Oleh karena itu, tidak ada hubungan seksual suami-isteri yang boleh menolak makna itu, meskipun karena pelbagai alasan hubungan itu tidak selalu dapat melahirkan kehidupan baru. Hubungan seksual, yang dihayati dengan penuh cinta kasih dan dikuduskan dalam perkawinan sakramental, memiliki hubungan intrinsik dan kodrati dengan kelahiran anak-anak.
Seorang anak berhak dilahirkan dari suatu perkawinan sakramental karena “anak bukanlah sesuatu yang dapat dituntut, tetapi adalah anugerah,” yang merupakan “buah dari tindakan khas kasih perkawinan orangtuanya” (Katekismus Gereja Katolik, no. 2378). Maka, suami-isteri yang mengemban tugas dan martabat kebapaan dan keibuan, akan bertanggung jawab penuh atas anak-anak mereka dengan memelihara dan memberikan mereka pendidikan yang baik, terutama dalam hal iman dan keagamaan (Gaudium et Spes, art. 48).
Persekutuan homoseksual tidak pernah bisa memenuhi tugas itu, apalagi menyebut kehidupan bersama mereka sebagai keluarga. Perkawinan homoseksual tidak pernah terarah pada kelahiran keturunan sebagai unsur intrinsik perkawinan, sebab dua laki-laki dan dua perempuan jelas tidak memungkinkan prokreasi.
Penggunaan metode-metode reproduksi buatan atau praktik lain seperti mengadopsi anak oleh pasangan homoseksual tetap tidak menggambarkan esensi keluarga yang sesungguhnya. Sebaliknya, praktik itu justru melecehkan martabat manusia itu sendiri serta merusak martabat luhur keluarga sebagai “Gereja domestik” (Ecclesia domestica) (Lumen Gentium, art. 11; Katekismus Gereja Katolik, no 1656; dan Familiaris Consortio, no. 21).
Sulit juga dibayangkan bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangan anak-anak yang diadopsi pasangan homoseksual itu. Alih-alih membesarkan dan mendidik anak-anak itu dengan baik, pasangan homoseksual justru membuat mereka terluka, terbebani secara sosial, serta terhambat dalam perkembangan mereka sebagai manusia yang utuh.
Mereka kekurangan figur kebapaan atau figur keibuan yang bisa mendukung mereka dalam bertumbuh sebagai pribadi. Berdasarkan pertimbangan inilah persekutuan homoseksual sulit diterima Gereja Katolik sebab persekutuan ini secara esensial tidak mencerminkan makna keluarga yang sesungguhnya.
Bagi Gereja Katolik, makna keluarga sangat jelas, yakni sebagai persekutuan rahmat, tempat “dilaksanakan imamat yang diterima melalui pembaptisan, yaitu imamat bapa keluarga, ibu, anak-anak, semua anggota keluarga […], dengan memberi kesaksian hidup suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif” (Katekismus Gereja Katolik, no. 1657; Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, art. 10; dan Gaudium et Spes, art. 52).
Keluarga Katolik tidak pernah terdiri dari dua laki-laki (gay) atau dua perempuan (lesbian) sebagai orang tua dengan anak-anak yang dihasilkan melalui reproduksi buatan atau dimiliki melalui adopsi. Itu adalah penyimpangan dalam konteks pemahaman Katolik tentang keluarga sebagai “Gereja domestik”.
Keluarga haruslah merupakan “persekutuan pribadi-pribadi, satu tanda dan citra persekutuan Bapa dan Putera dalam Roh Kudus”, di mana melalui “kelahiran dan pendidikan anak-anak, tercerminlah kembali karya penciptaan Bapa” (Katekismus Gereja Katolik, no. 2205).
Dengan demikian, keluarga sejati dalam pandangan Katolik adalah keluarga yang sesuai dengan maksud penciptaan, yang tidak hanya bersifat unitif, tetapi juga prokreatif, demi keberlanjutan umat manusia di muka bumi ini. Gagasan dan praktik homoseksual tidak pernah sesuai dengan konsep tersebut. Oleh karena itu, Gereja Katolik tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menerimanya sebagai suatu bentuk perkawinan yang sah, resmi, dan sakral.
Baca Selanjutnya: Kontrobversi Pernikahan Homosekual dan Posisi Gereja Katolik (Bagian 3)
Posting Komentar