Kontroversi Pernikahan Homoseksual dan Posisi Gereja Katolik (Bagian 1)
Joan Damaiko Udu, Redaktur Pelaksana Katolik Terkini
Katolik Terkini - Salah satu isu krusial yang menarik untuk dibicarakan pada abad ini adalah pernikahan homoseksual atau biasa disebut pernikahan sesama jenis. Isu ini sebenarnya sudah lama muncul, misalnya pada tahun 2001, tatkala Belanda menjadi negara pertama yang melegalkan pernikahan homoseksual. Isu ini kemudian menjadi semakin populer pada 26 Juni 2015, yaitu ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat memberikan pengakuan hukum terhadap pernikahan homoseksual. Bahkan, saat ini, menurut Pew Research Center, sudah ada lebih dari 30 negara di dunia yang melegalkan pernikahan homoseksual, baik secara nasional maupun secara terbatas di sejumlah daerah di negara mereka.
Pengakuan macam itu semakin memperkuat eksistensi kelompok sosial yang biasa disebut LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), baik secara hukum maupun secara sosio-politis. Mereka diberi hak dan kebebasan yang sama untuk menikah seperti kaum heteroseksual. Inilah yang dimaksud kelompok liberal dan para pegiat HAM sebagai kesetaraan yang demokratis, di mana tidak ada pribadi atau kelompok yang diabaikan, termasuk dalam hal orientasi seksual dan pilihan asasi untuk menikah.
Akan tetapi, isu ini sendiri sebenarnya masih sangat kontroversial di sebagian besar negara di dunia, termasuk di Indonesia. Ada yang mendukung pernikahan homoseksual, seperti para aktivis HAM dan pegiat demokrasi liberal, tetapi ada banyak juga yang menentangnya, terutama dari kelompok keagamaan. Lantas, bagaimana pandangan dan posisi Gereja Katolik sendiri sebagai suatu kelompok keagamaan yang cukup besar di dunia mengenai isu penting ini? Bagaimana seharusnya kita melihat dan menyikapi fenomena pernikahan sesama jenis, termasuk desakan untuk mengakuinya secara hukum? Pertanyaan-pertanyaan fundamental ini akan menuntun diskusi kita dalam tulisan ini.
Pengertian Pernikahan Homoseksual
Menurut American Psychological Association, pernikahan homoseksual merupakan suatu bentuk pernikahan yang terjadi antara orang-orang yang memiliki jenis kelamin yang sama, baik antara laki-laki dengan laki-laki (gay) maupun antara perempuan dengan perempuan (lesbian). Pernikahan ini didasari oleh kecenderungan seksual-afektif yang tidak lazim, di mana seseorang merasa tertarik secara fisik dan emosional kepada orang-orang dari jenis kelamin yang sama. Banyak orang menilai kecenderungan seksual macam ini sebagai sesuatu yang tidak normal karena bertentangan dengan hukum kodrat. Akan tetapi, bagi orang-orang yang mengalaminya, fenomena ini merupakan sesuatu yang terberi (given), dan karena itu, bersifat alamiah dan normal.
Namun, untuk menghindari salah paham, kita perlu terlebih dahulu melihat fenomena ini dari dua sudut pandang: (1) sebagai kondisi bawaan atau orientasi dan (2) sebagai tindakan atau perilaku. Sebagai orientasi, homoseksualitas terbagi atas dua, yaitu homofilia dan homothropie. Homofilia adalah rasa tertarik dan jatuh cinta kepada jenis (kelamin) yang sama, dan lantas hidup bersama untuk sementara waktu atau untuk selamanya. Homothropie adalah keterarahan seksual pada jenis (kelamin) yang sama, tanpa hidup bersama dalam jangka waktu tertentu. Lalu, sebagai tindakan, homoseksualitas merujuk pada perilaku erotis dan aktivitas seksual (bersetubuh atau berciuman, dll) dengan orang dari jenis (kelamin) yang sama.
Dalam bahasa populer, orang-orang dengan kecenderungan homoseksual biasa disebut dengan istilah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Aktivitas seksual yang umumnya mereka lakukan antara lain saling bermasturbasi, sodomi (seks anal atau meniru hubungan seksual dengan memasukkan penis ke dalam lubang anus), fellatio (seks oral, yakni dengan memasukkan penis ke dalam mulut pasangan), pederasti (aktivitas homoseksual antara seorang dewasa dengan anak-anak di bawah umur), dan pedofilia (“mencintai” anak-anak di bawah umur) (Gions, 2017: 11). Aktivitas seksual semacam ini tergolong “tidak wajar”, terutama kalau dilihat dalam kerangka pemahaman dasar tentang seksualitas dan perkawinan secara umum. Hal inilah yang kemudian disoroti secara serius oleh Gereja Katolik.
Kendati demikian, banyak kalangan yang mendukung hubungan homoseksual. Bahkan, atas nama kesetaraan dan Hak Asasi Manusia (HAM), sudah ada lebih dari 30 negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Kebijakan ini kebanyakan didasarkan pada argumen bahwa orientasi seksual semacam itu bukan merupakan pilihan pribadi, melainkan sesuatu yang alamiah. Orientasi seksual ini terjadi akibat kombinasi faktor genetik, hormon, dan lingkungan di mana seseorang bertumbuh dan berkembang.
Dengan dalil tersebut, para aktivis LGBT dan pegiat HAM kemudian menyerukan kebebasan melakukan hubungan homoseksual, sebab hal itu merupakan hak individu, asal tidak merugikan orang lain. Hubungan homoseksual, yang dilandasi oleh cinta yang mendalam, dilihat sebagai sesuatu yang lumrah, yang mencerminkan pilihan hidup asasi seseorang. Argumen semacam ini mendorong banyak kalangan dan sejumlah negara di dunia untuk menerima dan mengesahkan status legal pernikahan homoseksual.
Posisi Gereja Katolik
Pada dasarnya, Gereja Katolik menghormati hak dan otonomi setiap pribadi, termasuk hak dan otonomi mereka yang memiliki kecenderungan homoseksual. Para pribadi homoseksual adalah ciptaan Allah, dan karena itu, memiliki hak-hak fundamental sebagai manusia. Namun, mengakui dan menghormati mereka sebagai pribadi tidak lantas berarti menyetujui semua tuntutan mereka, termasuk untuk meresmikan pernikahan homoseksual di dalam Gereja. Sejak awal, posisi Gereja Katolik sudah jelas dan tegas bahwa perkawinan homoseksual bukanlah bentuk perkawinan yang kanonik. Perkawinan itu tidak sesuai dengan konsep dasar Gereja Katolik tentang (1) seksualitas, (2) perkawinan sakramental, dan (3) keluarga sebagai “Gereja domestik”.
Pertama, terkait konsep tentang seksualitas, Gereja Katolik lebih banyak merujuk pada satu sumber primer, yaitu Kejadian 1-2. Pada dua bab awal kitab ini, dilukiskan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas laki-laki dan perempuan yang terarah satu sama lain. Ada diferensiasi jenis kelamin di situ, yang lantas membedakan laki-laki dan perempuan menurut kenyataan biologis masing-masing. Oleh karena itu, keduanya saling melengkapi dan saling membutuhkan dalam “beranak cucu dan bertambah banyak, […] untuk berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi (Kej 1:28)”.
Seksualitas dalam konteks ini tidak hanya menyangkat perbedaan biologis dan fisiologis (perbedaan jenis kelamin semata), tetapi juga menyangkut seluruh perwujudan diri manusia, baik sebagai laki-laki maupun sebagai perempuan. Perwujudan diri ini mencapai keutuhannya dalam hubungan “saling memberikan diri”, di mana manusia secara wajar melampaui dirinya dan masuk dalam suatu hubungan timbal balik dengan yang lain (Groenen, 1993: 305). Oleh karena itu, manusia (sebagai laki-laki dan perempuan) secara alamiah selalu memiliki keterarahan kepada yang lain.
Keterarahan tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (art. 48), mencerminkan bahwa manusia, menurut struktur seksualnya, saling mengisi dan memberikan diri demi kelangsungan keturunannya. Tidak ada yang tidak membutuhkan portolongan yang lain dalam menjalankan fungsi reproduktif itu, sebab Tuhan memang menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi. Hal itu dikatakan dengan ringkas dalam Kej 2:18, “Tuhan berfirman: tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Hawa hadir sebagai penolong bagi Adam, dan keduanya diciptakan Allah menurut gambar dan rupa-Nya, yaitu sebagai laki-laki dan perempuan (Kej 1:27).
Dengan “keterberian” seksualitasnya tersebut, manusia dapat keluar dari kediriannya dan kemudian membangun persekutuan cinta yang hangat dengan yang lain. Inilah yang menjadi basis ajaran Katolik tentang perkawinan, yaitu bahwa perkawinan selalu merupakan persekutuan cinta antara seorang pria dan seorang wanita. Ini berarti bahwa relasi perkawinan dalam Gereja Katolik selalu dimengerti dalam kerangka relasi heteroseksual. Relasi yang dibangun atas dasar lain, misalnya antara dua laki-laki (gay) atau dua perempuan (lesbian), tidak dapat dikatakan perkawinan, sekalipun ada unsur seksual di dalamnya (Groenen, 1993: 299).
Hal yang sama berlaku untuk relasi seksual yang insidental, yang hanya berlangsung di bidang seksual saja, seperti pelacuran, tidak dapat dikatakan perkawinan. Seksualitas dalam arti ini tidak terutama merujuk pada perbedaan jenis kelamin atau pada aktivitas seksual semata, tetapi pada pemberian diri secara utuh dan penuh sebagai manusia (sebagai laki-laki dan perempuan). Pemberian diri yang mendalam seperti ini tidak pernah terjadi pada persekutuan homoseksual.
Baca artikel selanjutnya:
Posting Komentar