Kita Melangkah, Cinta Abadi Terus Merekah - Menyambut 2024 Dengan Sikap Syukur
Foto pribadi dari Sdr. Efendy Marut OFM |
Oleh: Efendy Marut OFM
Katolik Terkini - Penyair Sapardi Djoko Damono selalu terkenal dengan kutipan syairnya; “yang fana adalah waktu. Kita abadi”. Lalu, siapa “kita yang abadi” itu?
Ribuan tahun ingatan kita terarah pada cinta. Allah mencipta karena cinta. Allah mati pun karena cinta. Sepanjang kenangan akan Dia, cinta itu abadi di dalam kita. Sebagaimana Dia yang juga abadi menemani kita. Kita, akhirnya abadi karena cinta itu.
Demikian pun waktu (chronos) yang datang dan pergi, berganti dan meninggalkan sisa luka dan tawa. Waktu pergi atau berlari tapi cinta abadi (tempus fugit, amor manet).
Tak peduli apa yang tersisa di masa lalu, kita toh mestinya wajib melangkah jauh. Setiap masa akan hadir dengan kejutannya sendiri. Setiap pribadi punya strategi menghadirkan reaksi terhadap beragam peristiwa yang sering datang tanpa permisi, bahkan sampai menunda tawa-sukacita.
Oleh waktu, kita dibuat terkejut, sesekali kesal, takut, marah, jengkel, terbahak-bahak, terkagum-kagum dan diam. Apa pun itu, life must go on!
Di dalam cinta, mari lambaikan tangan untuk peristiwa yang telah lalu. Cinta mengajarkan kita untuk selalu siap merelakan. Memaksa dan menuntut kesempurnaan untuk diri kita di masa lalu dan masa sekarang dan nanti, justru hanya akan menghadirkan luka-luka baru dan menambah derita.
Kita siap menerima tantangan baru, juga mesti lebih siap menerima kritikan. Begitu pula dengan apresiasi yang bahkan tidak selalu kita terima di setiap momen hidup.
Barangkali kita malah sering diasingkan, dijadikan sebab dari setiap masalah, nama kita bahkan kerap dijadikan judul untuk setiap perbincangan yang ‘tidak sehat,’ gosip, dan sejenisnya. Semuanya itu adalah kejutan dengan kadarnya masing-masing.
Rela menerima dan setia memaknai peristiwa hidup adalah pancaran dari cinta yang abadi itu. Sebab sebagaimana hidup, cinta bukan tentang kesempurnaan. Kata Erich Fromm, “Love is not about perfection, it is about acceptance."
Waktu “chronos” akan datang dan pergi. Kita akan tetap dan sebaiknya terus mencicipi “Kairos”, waktu Tuhan dalam aneka pengalaman: mencintai, memberi dan mensyukuri.
Setiap kejutan sebaiknya diterima sebagai momen kualitatif; disambut sebagai yang bermakna, direfleksikan, diperjuangkan dengan antusias dan sikap syukur.
Waktu pergi-berlari, cinta kita tetap tinggal....
Posting Komentar