Memahami Kemarahan Tuhan: Antara Perspektif Manusia dan Kehendak Tuhan
Katolik Terkini - Pendukung kesederhanaan ilahi meyakini bahwa Tuhan sejatinya tidak marah. Meskipun seringkali kita mengartikan keadaan seolah Tuhan sedang marah, hal ini hanyalah pemahaman manusia terhadap Tuhan dan bukan gambaran sebenarnya.
Namun, argumen ini tidak lepas dari beberapa keberatan. Catholic Answers membagikan beberapa pertimbangan dari beberapa orang yang berpendapat bahwa terdapat rasionalitas dalam menyatakan bahwa Tuhan bisa saja merasa marah, seperti yang tergambar dalam beberapa bagian Kitab Suci, contohnya ketika orang Israel menyembah anak lembu emas.
Selain itu, Tuhan tampaknya akan merasakan kemarahan terhadap dosa, sesuatu yang manusia pun cenderung rasakan ketika melihat pelanggaran terhadap nilai-nilai moral.
Namun, perlu dicatat bahwa ketika kita berbicara tentang kemarahan Tuhan, kita tidak sepenuhnya benar jika menyatakan bahwa Tuhan menjadi marah.
Ayat-ayat dalam Kitab Suci yang menyebutkan kemarahan Tuhan seharusnya diartikan sebagai pengakuan akan kemarahan-Nya, bukan sebagai perubahan esensi Tuhan dari yang tidak marah menjadi marah. Lebih tepatnya, kita dapat mengatakan bahwa "kemarahan Tuhan sedang kita sadari."
Sebagai analogi, bayangkan seorang individu berpindah dari sisi pengemudi ke sisi penumpang dalam mobil. Meskipun kita dapat mengatakan bahwa posisinya berubah dari kiri ke kanan, mobil itu sendiri tidak mengalami perubahan. Demikian pula, ketika Tuhan "marah," itu bukanlah Tuhan yang berubah, melainkan hubungan kita dengan-Nya yang mengalami ketegangan.
Gambarkan dalam Kitab Suci tentang emosi Tuhan seharusnya diinterpretasikan sebagai cara manusia berhubungan dengan Tuhan, bukan sebagai cara Tuhan berhubungan dengan kita. Ketika kita menggunakan frasa "Tuhan marah," sebenarnya kita sedang menyadari bahwa kita telah menjauh dari kebaikan tak terbatas Tuhan dan merasakan dampak ketidakpatuhan kita.
Ini lebih merupakan pengakuan atas keretakan hubungan daripada gambaran tentang Tuhan yang emosional. Sebagai contoh, jika kita membuat sesuatu yang tidak disukai oleh seorang teman, reaksi kemarahannya adalah respons terhadap tindakan kita.
Penting untuk diingat bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam memahami segalanya sekaligus, dan kemarahan kita cenderung bersifat subjektif dan terkadang keliru. Sebaliknya, bagi Tuhan, kemarahan-Nya tidak dibatasi oleh waktu, tidak pernah berlebihan atau keliru, melainkan merupakan bagian dari pengetahuan dan kehendak-Nya yang sempurna. Selain itu, Tuhan juga menyimpan kesempurnaan belas kasih yang patut kita sadari.
Meskipun mungkin tampak beralasan jika Tuhan "marah" terhadap dosa, perlu diingat bahwa dalam pandangan tradisional tentang Tuhan, kemarahan-Nya tidak dimulai atau berakhir. Ini bukanlah suatu pengaruh atau perubahan yang dipengaruhi oleh tindakan manusia. Kemarahan Tuhan lebih merupakan ekspresi dari keadilan-Nya dalam menghadapi dosa, bukan reaksi terhadap perubahan emosi-Nya.
Dalam pemahaman ini, kita dapat merujuk pada pandangan St. Augustinus, yang menekankan bahwa kemarahan Tuhan adalah bentuk ekspresi dari metode-Nya yang adil dalam memberikan hukuman, bukan suatu emosi yang bergejolak.
Hal yang serupa diungkapkan pula oleh Thomas Aquinas, yang menjelaskan bahwa kita memberikan atribut emosi manusia kepada Tuhan sebagai cara kita menggambarkan reaksi-Nya terhadap dosa, bukan sebagai perubahan dalam diri Tuhan.
Secara keseluruhan, kita dapat memahami bahwa ketika kita mengatakan "Tuhan marah," kita sebenarnya sedang mencoba memahami hubungan kita yang terganggu dengan-Nya. Meskipun Tuhan tidak memiliki emosi seperti manusia, kita menggunakan bahasa ini untuk lebih dekat dengan pemahaman kita tentang keadilan dan kasih-Nya.
Posting Komentar