Mencari Makna Sejati: Perjalanan Jiwa dan Kehendak Allah Menurut Augustinus
Oleh : Fr.
Simon Welerubun, OSA
Katolik
Terkini - Augustinus Aurelius lahir di Tagaste, sebuah kota kecil di
Numidia (Afrika Utara) dekat Hippo Regius pada 13 November 354. Ayahnya,
Patricius, adalah seorang kafir, sementara ibunya, Monnica, adalah seorang ibu
saleh yang penuh kasih sayang dengan sikap cinta dan kerendahan hati yang
mendalam. Augustinus menempuh pendidikan di Tagaste dan kemudian belajar ilmu
retorika (suatu jenis pendidikan yang mempersiapkan seseorang menjadi pengacara
atau ahli di bidang administrasi Negara) dan filsafat di Kartago, ibu kota
provinsi Afrika Utara (lihat Augustinus Tahanan Tuhan, 21).
Dalam kehidupan manusia, perjalanan sering kali memiliki arti
dan makna. Namun sebelum kita memahami kedua hal tersebut, penting untuk
menyadari bahwa kehadiran kita adalah panggilan dari cinta Allah, yang
tercermin dalam hubungan cinta orang tua. Dari cinta orang tua, kita menerima
kasih sayang dan diarahkan dalam iman menuju perjalanan hidup. Perjalanan ini
adalah komitmen kita terhadap pilihan hidup yang mengarah pada keputusan dalam
menjalani hidup. Seiring waktu, kita mungkin berjalan tanpa arah jelas,
terjebak dalam perjalanan yang mungkin keliru terkait panggilan hidup. Mengapa
ini bisa terjadi?
Hal ini karena perjalanan hidup manusia, dipandu oleh
kehendak bebasnya, dapat menjadi rutinitas yang dijalani sesuai gaya hidup yang
diambil untuk menikmati ritme kehidupan. Dengan latar belakang ini, penulis
mengajak pembaca untuk merenung dan memahami ungkapan dari Santo Augustinus –
Hippo yang menggambarkan Perjalanan Jiwa Menuju Allah dalam konteks keberadaan
manusia pada zaman modern.
Penulis membagi makna perjalanan jiwa menuju Allah menurut
pemahaman Santo Augustinus menjadi tiga fase: apa itu perjalanan? apa itu jiwa?
dan bagaimana menuju Allah? Selain itu, penulis juga mengeksplorasi bagaimana
cara kita merespons perjalanan kita sendiri. Hal ini menjadi sangat menarik
untuk direnungkan bersama dalam kehidupan kita sehari-hari.
Apa itu Perjalanan?
Perjalanan tidak sekadar merujuk pada fisik seseorang yang
bergerak atau berpindah tempat. Lebih dari itu, perjalanan memiliki makna
mendalam yang diuraikan oleh St. Augustinus sebagai pencarian jati diri.
Pencarian ini mendorong kita untuk menggali arti dan makna terdalam dari suatu
perjalanan.
Dalam bukunya yang berjudul "Confessiones," St.
Augustinus menuliskan, "Engkau yang mendorongnya gemar memuji-Mu, karena
Kaubuat kami mengarah kepada-Mu. Hati kami tak kunjung tenang sampai tenang di
dalam diri-Mu." (Conf. I.I.i). Ini mengacu pada perjalanan menuju Allah,
di mana Allah menjadi pusat kerinduan manusia ketika perjalanan hidup berakhir
dalam kematian.
Namun, di sini kita tidak membicarakan perjalanan setelah
kematian. Kita membicarakan perjalanan yang tengah kita alami saat ini.
Perjalanan ini mendasari diri pada rasa gelisah, bukan akibat beban hidup atau
banyak masalah, melainkan disebabkan oleh kerinduan untuk sepenuhnya menyatukan
diri dengan Allah. "Pemberian diri" dalam konteks ini mengacu pada
usaha kita untuk terus-menerus mengarahkan diri di dalam perjalanan ini dengan
bimbingan dan kehendak Allah.
Perjalanan hidup juga mewakili salah satu bentuk cara hidup.
"Cara hidup" diartikan sebagai pola hidup atau karakter seseorang
yang mencerminkan identitasnya melalui kebaikan-kebaikan iman yang
dianugerahkan oleh Allah. Iman adalah landasan yang memandu kita dalam
menjalani perjalanan ini dan meresponsnya dengan kesetiaan, sambil menyerahkan
diri kita untuk mengikuti ajaran Kristus yang menjadi pusat dan teladan dalam
hidup kita.
Apa Itu Jiwa?
Ketika berbicara tentang jiwa, sebenarnya kita merujuk pada
Roh. Jiwa bisa dianggap sebagai manifestasi dari Roh Ilahi itu sendiri. Seperti
yang tertulis, "Allah itu Roh, dan siapa yang ingin menyembah-Nya harus
melakukannya dalam roh dan kebenaran" (Yohanes 4:24). Melalui kehadiran
Roh Ilahi, hati kita terhubung dengan hal-hal yang baik. Jiwa kita, dalam
perpaduan dengan tubuh, merindukan untuk selalu mengarah kepada Allah, menuju
pandangan-Nya yang indah dan abadi.
Dengan pemahaman ini, kita dapat menyimpulkan bahwa untuk
mengenal jiwa berarti kita juga mengenal Roh Ilahi. Alasan di balik ini adalah
bahwa Allah adalah sumber jiwa yang hidup dalam diri manusia. Kehadiran-Nya
adalah tanda "kerinduan" akan persatuan ilahi dengan ciptaan-Nya.
Oleh karena itu, manusia dianugerahkan dengan akal budi yang
membedakannya dari makhluk lainnya, sesuai dengan Firman, "Allah
menciptakan manusia menurut gambar-Nya" (Kejadian 1:27). Ketika kita
memulai perjalanan tentu kita terdorong oleh jiwa (Roh) yang mengerahkan,
menuntun tubuh kita menuju kepada apa yang kita kehendaki.
Bagaimana menuju Allah?
Perjalanan menuju Allah adalah kerinduan mendalam jiwa
manusia yang menginginkan untuk sepenuhnya menyerahkan diri kepada kasih dan
karunia Allah. Dalam perjalanan ini, manusia merasa didorong untuk menjalani
kehidupan sesuai dengan karunia-karunia yang diberikan oleh Allah. Tujuan utama
dari perjalanan ini adalah mengarahkan diri menuju Allah, yang diwujudkan dalam
mengenal diri sendiri sebagai makhluk yang terbatas.
Sebagaimana yang diucapkan oleh St. Augustinus, "Semoga
aku dapat mengenal-Mu, Kau yang mengenalku, semoga aku dapat mengenal-Mu
seperti aku sendiri dikenal!" (Konfesi, Kitab X.1.1). Menuju Allah bisa
diartikan sebagai upaya manusia untuk mengenal dirinya yang terbatas dan
kemudian mengarahkan diri kepada Sang Pencipta, yaitu Allah.
Perjalanan jiwa dalam kegelisahan merujuk pada upaya jiwa
manusia untuk mencari arti yang lebih dalam dalam hidupnya, yang pada akhirnya
mengarahkan kepada Allah sebagai sumber kebenaran sejati. Pandangan St.
Augustinus tentang manusia sebagai gambar Allah Tritunggal menyatakan bahwa
manusia adalah persekutuan dari Bapa (kebijaksanaan), Putra (kebenaran), dan
Roh Kudus (cinta). Pandangan ini mengajak manusia untuk mengenali perjalanan
jiwa dalam konteks hubungan dengan Allah.
St. Augustinus berbicara tentang bagaimana jiwa manusia yang
mencari arti dalam hidupnya mengarahkan perjalanan ini kepada Allah. Dalam
bimbingan dan kehendak Allah, manusia menyadari cara hidupnya dalam
keterhubungan dengan sesama dan mencari makna kehidupan yang berasal dari
Allah. Perjumpaan dengan sesama menjadi penting dalam perjalanan ini karena
melalui interaksi dengan sesama, manusia dapat menghayati jiwa yang bersatu
dalam Allah.
Pertobatan di Hadapan Allah
Dalam perjalanan menuju Allah, manusia kadang-kadang
mengalami kesenjangan antara apa yang diharapkan dan realitas hidupnya. Ketika
manusia menyadari bahwa perilaku dan tindakannya tidak selaras dengan kehendak
Allah, maka muncul pertanyaan tentang bagaimana mengatasi hal ini. St.
Augustinus mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar: Siapa saya? Di mana saya?
Kemana saya?
Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan upaya untuk mengenal
diri sendiri di hadapan Allah, mengevaluasi tempat dan keadaan saat ini, serta
mengarahkan tujuan hidup. Jika manusia menyadari kesalahan dan ketidaksesuaian
dengan kehendak Allah, St. Augustinus menekankan pentingnya pertobatan sebagai
jalan untuk memperbaiki arah hidup. Pertobatan adalah proses kembali pada jalan
yang benar dan mengubah sikap serta cara hidup yang tidak sesuai dengan ajaran
Allah.
Pertobatan membawa pengampunan dan kebahagiaan melalui Allah,
sebagaimana tercermin dalam kisah perumpamaan Anak Hilang (Lukas 15:11-32).
Dengan kembali pada jalan pertobatan, manusia bisa merasakan rahmat Allah dan
kebahagiaan yang lahir dari keterhubungan dengan-Nya.
Posting Komentar